Bab 1
PENDAHULUAN
Secara historis agama buddha mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya, tapi walaupun demikian agama buddha mempunyai perbedaan dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, Salah satunya agama hindu. Sebagai agama, ajaran buddha tidak bertitik tolak dari tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia. Tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya tentang tata susila yang dihadapi dan dijalani manusia agar terbebas dari lingkaran dukka yang selalu mengiringi hidupnya. Dan dalam jangka waktu yang lama ini, masalah ketuhanan itupun belum mendapatkan perhatian yang semestinya.
Dalam alur sejarah agama di india, zaman agama buddha dimulai semenjak tahun 500 SM hingga tahun 300 M.[1] Berangkat dari titik tolak ajaran yang dikembangkan tersebut, banyak para peminat ilmu agama mempertanyakan apakah agama buddha dipandang sebagai agama, atau hanya salah satu aliran filsafat saja. Sejalan dengan itu edwarad conze menyatakan bahwa buddhisme dapat dianggap sebagai agama dan suatu aliran filsafat. Sebagai agama, buddhisme merupakan suatu bentuk organisasi dari cita-cita yang bersifat spiritual yang menolak adanya unsur kekuasaan duniawi, yang ajarannya mampu memberikan sukses dalam mengatasi dunia dan dalam mencapai keabadian ataupun kehidupan setelah mati. Sebagai suaatu aliran filsafat, kata conze, buddhisme bersifat dialektis pragmatis yang bercorak kejiwaan.
LATAR BELAKANG
Dalam bab agama Hindu kita mencoba menggambarkan dua gerakan yang patut dicatat – para rishi Upanishad dan Sri Krishna – yang bangkit di India melawan politeisme Brahmana dan ritualisme. Betapa pun mereka akhirnya terserap dalam agama Hindu dan ciri mereka yang khas lenyap karena kompromi dengan sistem yang ditentang oleh mereka. Agama Buddha adalah revolusi yang lain lagi terhadap agama Brahmana, dan gerakan besar ini tidak dapat bercampur lagi dengan agama Hindu. Buddha bukanlah suatu agama yang berbeda, melainkan suatu sistem yang positif. Namun demikian, setelah suatu masa sukses dan popularitas yang luas, agama ini terasing dari tanah kelahirannya oleh agama Hindu yang dibangkitkan lagi. Tetapi sebelum hal itu terjadi, agama Buddha telah tersebar ke berbagai negeri di luar India dan menjadi satu dari agama dunia yang besar.
India dalam abad ke enam sebelum masehi bukanlah suatu kerajaan yang luar biasa atau kekaisaran. Negeri itu mempunyai sejumlah raja dari suku-suku serta marga tertentu yang memerintah daerah-daerah kecil. Beberapa logat dipergunakan meskipun Sansekerta adalah bahasa yang suci. Kitab Weda telah mendapat gelar yang misterius sebagai kitab wahyu. Pengorbanan dan upacara menurut faham Brahmana telah dijalankan secara luas dengan penuh keyakinan, bahwa melalui upacara itu maka manusia yang melakukannya akan memperoleh apa yang diinginkannya di dunia ini maupun di akhirat. Para pendeta Brahmana dihormati dan ditakuti sebagai setengah dewa. Masyarakat dibagi dalam empat kasta secara ketat dengan kaum Brahmana yang memperoleh kedudukan penuh fasilitas, di pihak lain kaum Sudra dan Paria menjalani hidup dalam keadaan yang lebih buruk dari binatang piaraan. Kitab hukum agama Hindu menyatakan : ‘Telinga seorang Sudra yang mendengarkan penuh perhatian ketika Kitab Weda dibacakan harus disumpal dengan logam cair, lidahnya harus dipotong bila membacanya, badannya harus dibelah bila hafal dalam ingatannya”.[2] Bila seorang Sudra berbuat demikian besar, misalnya memberikan sekelumit nasehat kepada seorang Brahmana, minyak panas harus dituangkan ke telinganya.
Orang Hindu telah mengembangkan kegemaran untuk berfilsafat secara hitam putih, yang tiada lain kecuali mencari kebenaran atau menyalib orang. Ini adalah abad kekacauan yang penuh untung-untungan dengan ilmu agama yang tidak tentu dan pertengkaran yang membingungkan. Kehidupan akhlak sangat menderita karena banyak permasalahan metafisik, dan perselisihan keagamaan yang menyerang habis daya serta tenaga rakyat. Dalam hutan dan gua-gua hiduplah banyak resi dan pertapa yang menjalankan penyiksaan diri dan menolak kesenangan bagi diri mereka untuk masa yang panjang dan percaya bahwa ini adalah jalan untuk mencapai ketinggian rohani.
Rakyat menyembah segala macam, mulai dari matahari hingga batu biasa, dewa yang tinggi hingga setan, dedemit yang menakutkan. “Di benua yang luas India”, tulis Dr. Radhakrishnan, “kapasitas yang luar biasa untuk menciptakan dewa-dewa, maka dengan kejahilan bertuhan memberi ruang lingkup yang luar biasa. Tuhan dan hantu dengan daya melukai atau mengganggunya, sebagaimana halnya perlu dipuji dan dipuja karena menguasai
kehidupan rakyat. Di sisi lain secara kontras, Weda penuh aturanaturan dan upacara-upacara ritual dan seremonialnya saja”.[3]
Di dunia inilah, Siddharta yang mempunyai nama keluarga Gautama dan dibelakang hari menjadi Buddha dilahirkan.
RIWAYAT KEHIDUPAN BUDDHA
Fakta sejarah mengenai kehidupan pendiri agama Buddha telah tenggelam dalam banjir dongeng yang muncul sejak awal sejarah agama tersebut. Dari seluruh catatan yang telah ditulis tentang beliau, hanya ada sebagian kecil yang dapat dianggap sebagai kebenaran sejarah, sampai-sampai seorang yang ulama pun seperti Ananda Coomaraswamy percaya bahwa Buddha bukanlah seorang manusia melainkan suatu mitos Dewa Matahari.
“Pertimbangan-pertimbangan ini”, tulisnya, “membangkitkan pertanyaan apakah ‘kehidupan’ dan ‘penakluk kematian’ dan ‘Guru dari dewa dan manusia’ yang menyatakan bahwa ia dilahirkan dan diturunkan di dunia-Brahma, dan yang turun dari langit serta masuk dalam rahim dan lahir dari Maha Maya dapat dianggap sebagai fakta sejarah ataukah sekedar suatu mitologi di mana sifat dan tindakan dewa Weda yakni Dewa Agni serta Dewa Indra yang kurang lebihnya telah bercampur dengan jelas di dalamnya”.[4]
Keraguan yang sama diungkapkan dalam sejarah Yesus Kristus dan Lao Tzu. Jika mereka menggarisbawahi kesulitan tugas cendekiawan yang ingin mengungkapkan fakta sejarah tentang Buddha, Lao Tzu, dan Yesus karena kumpulan cerita dongeng yang ada di sekelilingnya, namun untuk menganggap hal itu sepenuhnya sebagai dongeng adalah sikap yang berlebihan diambil oleh cendikiawan.
Siddharta Gautama yang kelak menjadi Buddha dilahirkan pada tahun 563 sM di tanah Lumbini dekat Kapilavastu. Ayahnya Suddhodana adalah seorang raja dari marga Sakya yang negerinya terletak di sudut Selatan Nepal dengan Kapilavastu sebagai ibu kotanya.[5]
Ibunya Maya meninggal dunia ketika dia berumur tujuh hari dan anak itu dibesarkan oleh saudara perempuan ibunya, yakni Pajapati. Dalam Sutta Nipata, kita temukan juru ramal Asista yang datang ke istana Suddhodana yang haus akan Dharma yang sejati. Kita membaca tentang betapa dia mengenal tanda-tanda pribadi pada dirinya sebagai Buddha dan meramalkan kebesaran anak itu di masa datang. Dia menangis karena berfikir bahwa dia sendiri sudah tidak ada lagi sampai saat yang akan tiba itu dan mendengarkan Kitab ajaran yang baru.
Ayahnya cemas, sehingga dia harus tidak tahu tentang gejolak dunia. Dia dikelilingi dengan segala macam kecantikan dan kemewahan. Namun Siddharta tidaklah seperti anak-anak muda yang lain. Dia tidak ingin bebas riang gembira atau menyukai olah raga berkelahi dan wanita. Ayahnya telah mengawani dengan sepupunya yang cantik, yakni Yasodhara , Siddharta mencintai istrinya tetapi dia pun tak sanggup mengobati kegelisahan hatinya.[6]
Dia merasa sebagai seorang tawanan dalam istana serta tamantaman kemewahan yang didirikan ayahnya. Dia meneguhkan niatnya untuk mengadakan perjalanan guna melihat dunia nyata. Kita baca dalam kitab-kitab suci bahwa bagaimana dia pergi dengan Channa, sais keretanya, dan melihat berturut-turut seorang tua renta seorang yang sakit dan meninggal dunia. Ia merasa sangat tergoncang melihat penderitaan dan kematian manusia. Kemudian dia melihat seorang pertapa berkepala gundul dengan jubah kuning sudah tua dan pemandangan atas orang itu mengilhami keinginan untuk mencari kedamaian hidup keagamaan, dan ketentraman serta penyembuhan atas penderitaan kemanusian. Di malam yang larut dia mengucapkan selamat tinggal kepada isterinya yang sedang tidur dengan bayinya dan meninggalkan istananya. Di tepi hutan dia mengenakan jubah pendeta dan memulai karirnya sebagai seorang pencari kebenaran. Ini adalah penolakkan keduniawan yang besar.
Dia mengembara di hutan dari satu guru ke lain guru, mempelajari segala hal yang diajarkan kepadanya, tetapi tidak menemukan kepuasan. Berikutnya dia mulai berpuasa berturut-turut, dengan keras menjalankan latihan meditasi dan membebani dirinya dengan cobaan-cobaan yang dahsyat, dengan harapan bahwa dengan cara ini dia akan menemukan kebenaran. Ini usaha yang besar, meskipun seringkali dia di ambang maut, tetapi tidak menemukan sekalipun dari gelombang kehidupan ini. Karena itu, dia berkesimpulan bahwa hidup bertapa bukanlah jalan ke arah penerangan. Dia memutuskan untuk makan minum lagi, sehingga lima pertapa yang mengikuti dirinya, akhirnya pun meninggalkannya. Akhirnya dia duduk bersila dengan gaya yang disebut bunga teratai di bawah pohon yang yang suci dengan penuh harapan memperoleh penerangan. Cerita mengisahkan kepada kita bahwa pada saat krisis Siddharta diganggu oleh Mara, penggoda yang mencoba dengan sia-sia dengan segala bentuk tema dan godaan yang menggoncangkan. Dia teguh dalam meditasi dan akhirnya pintu hijab pun terangkat di mata beliau, dan cahaya yang membahagiakan meliputi beliau. Ini adalah penerangan yang besar, dan Siddharta Gautama telah mencapai bodhi atau pemancar cahaya dan menjadi Buddha atau seorang yang diterangi.[7]
Selama tujuh hari atau lebih beliau tinggal di sana, Mara si setan mencobanya lagi. Cobaan ini agar dia menerima sekaligus menggenapkan atas pembebasan dirinya sendiri ketika itu juga dengan kematiannya untuk langsung ke Nirwana. Ini cobaan yang paling rumit. Fikiran bahwa dia mengumumkan ajarannya, maka manusia tidak akan menerimanya, dan dia hanya akan kehilangan ketentraman dirinya ini juga menakutkannya dan agar berbalik lagi. Tetapi kasih sayang dalam kalbu Buddha membangunkannya demi kebutuhan manusia yang abadi, dia merasa bahwa perasaaan pribadinya yang mendalam untuk mengasihi dan menyayangi serta menyuruh dia untuk mengabdi kepada sesama umatNya. Karena itu, Sang Buddha memutuskan untuk terjun ke masyarakat dan mengumumkan kepada dunia jalan ke arah kedamaian dan hidup abadi.
Orang-orang pertama yang kepada siapa dia memutuskan untuk menyam-paikan risalahnya, adalah lima pertapa yang dulu telah meninggalkannya saat dia menghentikan hidup bertapa. Beliau menemukan mereka di Varanasi (Banares), dan di sana di Taman Menjangan, beliau mengajarkan khotbah pertama mengenai ‘Meletak-kan Diri dalam Gerak Roda Kebenaran’. Beliau mengajarkan mereka Jalan Tengah, Empat Kebenaran Mulia, dan Delapan Segi Jalan ke Arah Keselamatan. Mereka menjadi murid-muridnya yang pertama dan Arahant (Wali yang sempurna).[8]
Jumlah pengikutnya bertambah dengan cepat, dan beliau mengutus mereka ke dunia dengan penuh kasih sayang kepada sesama manusia untuk mengumum-kan Dharma (atau Dhamma bahasa Pali), yakni Keimanan Sejati atau Hukum demi keselamatan banyak orang. Buddha sendiri pergi Uruvella. Di perjalanan beliau menemukan sekelompok orang-orang muda yang sedang berdarmawisata dengan isteri mereka . Salah seorang dari mereka membawa selirnya dan ternyata wanita simpanannya minggat bersama harta miliknya. Si orang muda itu bertanya kepada Sang Buddha kalau-kalau beliau melihat wanita itu. “Coba kau fikirkan wahai anak muda” tanya Sang Buddha, “manakah yang lebih baik bagi dirimu, mengejar seorang wanita atau mencintai Dirimu sendiri?”. Dalam perjalanan ini, beliau dapat merebut hati orangorang muda tersebut dari nafsu rendah ke jalan keagamaan dan kemuliaan. Di Uruvela, Sang Buddha bertemu dengan sekolom-pok penyembah api, dan beliau mengajarkan kepada mereka khotbah apinya yang termasyur. Mereka juga bertobat dan menjadi murid-muridnya.
Di Rajagraha, Sang Buddha menyadarkan Raja Humsara dan menerima dari raja itu taman yang dikenal sebagai Celah Bambu untuk digunakan jemaahnya sebagai tempat semedhi yang tetap. Kemudian, beliau pergi ke Kapilavastu dan menjumpai ayah, isteri, dan anaknya. Puteranya, Rahula, dan Ibunya, Prajapati, bergabung dalam jemaah . Sang Buddha kurang senang menerima wanita dalam jamaahnya, namun dibujuk untuk berbuat demikian oleh saudara sepupu yang juga muridnya, Ananda Buddhacarita. Riwayat hidup awal dari Buddha ditulis oleh Asvaghosa, berisi banyak peristiwa mujizat yang dilakukan Buddha dan juga perjalanan ke langit untuk mengajarkan Dharma kepada roh-roh dari mereka yang sudah tiada.
Demikianlah Sang Buddha selama empat puluh tahun melanjutkan kelana-nya dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajarkan Dharma dan Jalan kedamaian abadi dan hidup kekal. Akhirnya, datanglah saat bagi beliau untuk meninggalkan badan jasmaninya. Salah satu cerita tentang hari-hari terakhir Sang Buddha diriwayatkan dalam Mahaparinibhana Sutta dari Digha Nikaya. Beliau mengatakan kepada para pengikutnya untuk membuat “Diri sendiri sebagai tempat mengungsi, dan pengungsian Hukum Abadi mereka”. Kata-kata terakhir-nya, “Dapat rusaklah segala perkara yang berpasangan; bekerjalah dalam kesung-guhan demi tujuan Anda”. Gambaran yang utuh dari Buddha telah menyinarkan cahayanya ke jutaan ummat manusia selama duapuluhenam abad dan telah memenangkan penghormatan dan kekaguman tidak hanya bagi para penganut agama Buddha, melainkan juga manusia yang tidak melihat bagaimana caranya untuk bergabung dalam kepercayaan itu.
AJARAN SANG BUDDHA
Sang Buddha sendirι tidak menulis apa-apa. Tak sedikit pun dari ajarannya yang tertulis setidaknya selama empat ratus tahun sesudah wafatnya. Yang lebih buruk lagi, praktik-praktik para pengikutnya dalam menerangkan agama Buddha telah menyisipkan kata-kata dan komentar sendiri dari ucapan Guru Besar itu. Karena itu mustahil memisahkan kata-kata asli dari Buddha dengan segolongan besar kata-kata dan ceramah-ceramah yang tersiar yang telah dinisbahkan kepadanya dalam kitab-kitab suci agama Buddha. Cendikiawan Buddha terkenal, Chirstmas Humpreys menulis:
“Karena itu tidaklah kita mengetahui apa yang diajarkan Buddha lebih dari apa yang diajarkan Yesus, dan saat ini sedikitnya ada empat aliran dan masing-masing ada pembagian lagi yang menyatakan bahwa pandangan mereka sendiri-lah yang mencerminkan apakah agama Buddha”.[9]
Nyonya Rhys Davids mengakui bahwa kitab suci agama Buddha yang pertama adalah sesuatu seperti “kritisisme lebih tinggi” dan berdasarkan penemuannya, suatu usaha akan kita paparkan di sini untuk menyajikan risalah asli dari Sang Buddha.
Sang Buddha adalah Buddha, sebab dia Buddha Yang Sadar, Yang Diterangi, Yang Waspada” Kebenaran yang tertinggi telah diwahyukan kepadanya. Siddharta Gautama bukanlah Buddha yang pertama. Beliau sendiri berkata telah banyak Buddha atau Guru Kebenaran yang mendapat penerangan penuh sebelum beliau, dan banyak sekali yang akan datang sesudah beliau.
Intisari ajaran Buddha adalah cinta kasih yang terdapat dalam khotbahnya “Meletakkan diri dalam Gerak Roda Kebenaran”. Beliau mengajarkan bahwa mereka yang ingin memasuki hidup keagaman harus mencegah dua ekstrimitas yang mengumbar nafsu pribadi, hidup menyiksa diri, dan mengikuti jalan tengah. Beliau mengungkapkan Empat Kebenaran Mulia: (1) kebenaran pertama, yakni tentang adanya penderitaan dan kesusahan di dunia ini, (2) kebenaran kedua menyatakan bahwa sebab dari penderitaan dan kesusahan itu adalah nafsu pribadi, (3) kebenaran ketiga menjamin bahwa nafsu pribadi dan kesusahan dapat dibinasakan, (4) kebenaran keempat menunjukkan jalan yang menuntut ke arah menghilangkan kesusahan dan ketidakbahagian. Sang Buddha memberikan gambaran yang mengagumkan dari Jalan Bersegi Delapan yang mendorong ke arah akan diakhirnya penderitaaan, dan ketidakbahagian. Yaitu pandangan yang benar, gagasan yang yang benar, bicara yang benar, tindakan yang benar, hidup yang benar, usaha yang benar, dan renungan yang benar. Pandangan yang benar berarti pengetahuan atau empat kebenaran mulia. Tetapi sepanjang kebenaran itu hanya dikenal oleh akal fikiran saja, maka kebenaran itu tidak punya daya kehidupan. Karena itu harus diketemukan dan dibuktikan oleh setiap orang dikedalaman hati nuraninya sendiri. Karena itu, langkah pertama adalah menimbulkan kesadaran suatu panggilan untuk meninggalkan cara di mana kita telah kehilangan kebenaran dan nasib kita. Aspirasi yang benar adalah menolak hawa nafsu rendah, tidak boleh membenci atau menyakiti sesama makhluk. Bicara yang benar, menyuruh kita agar menghentikan dusta, fitnah, caci maki, katakata kasar, dan omong kosong. Tindakan yang benar, berarti menghindari pencabutan jiwa atau mengambil apa yang tidak diberikan atau dari akibat-akibat nafsu sex. Hidup yang benar, berarti menghentikan setiap cara hidup yang terlarang, misalnya menjadi pedagang senjata, penjual budak, mencari nama atau penjual racun. Usaha yang benar, terdiri dari menahan timbulnya nafsu jahat ,membinasakan nafsu rendah yang timbul dalam mendorong nafsu baik dan menyempurnakannya bagi mereka yang telah bisa mewujudkannya. Fikiran yang benar, adalah mencapai penguasaan diri dengan sarana-sarana ilmu pengetahuan, pribadi. Renungan yang benar mengambil bentuk dalam empat macam semedi atau meditasi. Ini adalah akhir dan mahkota dari jalan bersegi delapan. Ini adalah bagian penting dari kehidupan tertinggi disaat nafsu kejahilan dan egoisme menghilang, dan pencerahan serta kesucian menggantikannya. Ini adalah renu-ngan penuh kedamaian dan kebahagian yang mendalam, menyertai bersatunya pribadi sendiri dengan Pribadi Universal.[10]
Metode pengajaran agama Buddha dengan baik sekali dilukiskan oleh ‘Perumpamaan Biji Mustard’. Kisah Gotami, seorang wanita tua miskin, telah kehilangan putra tunggalnya. Penuh kedukaan yang tak terhingga dia datang kepada Sang Buddha dan memohon kepadanya agar menghidupkan puteranya kembali. Buddha setuju untuk berbuat demikian, asal wanita itu mau mengambil beberapa biji mustard dari satu rumah yang belum mengalami kematian. Wanita itu pergi dari rumah ke rumah, tetapi kemana pun dia pergi selalu diberitahukan bahwa tak ada sebuah rumah pun yang tidak pernah mengalami kematian. Dengan cara ini, dia memperoleh pengertian secara simpatik. Wanita itu kembali kepada Sang Buddha, dan tidak lagi meminta agar puteranya dihidupkan kembali, melainkan agar dia diberikan kedamaian dan ketentraman.
Kisah yang mengharukan ini mengajarkan dua hal dari ajaran Buddha yang paling penting. Pertama, segala sesuatu yang ada dalam fenomena dunia selama-nya akan berubah dan sementara. Apa pun yang ada akan berlalu, siapa pun yang dilahirkan akan mati. Setiap makhluk hidup adalah suatu gabungan elemen-elemen, cepat atau lambat akan bercerai berai. Karena itu, suatu penerimaan yang wajar atas kematian adalah bagian yang penting dalam penyesuaian yang sejati kepada kenyataan. Kedua dari ajaran ini adalah menerima secara realistik terhadap kematian, dan pelaksanaan kasih sayang yang tercurah kepada sesama makhluk yang seperti kita sendiri yang akan menjadi sasaran dan kesakitan, serta penderitaan semacam itu.[11]
Sang Buddha mengajarkan kasih sayang dan simpati yang universal:
“Tidak pernah di dunia ini kebencian dapat diluluhkan dengan kebencian, hal itu hanya dapat diluluhkan dengan kasih sayang – inilah hukum yang abadi” (Dharmmapala 1:5).
“Hendaklah manusia menundukkan kemarahannyα dengan kasih-sayang, hendaklah dia tundukkan kejahatan dengan kebaikan, hendaklah keserakahan dengan kedermawanan, kebohongan dengan kebenaran.”[12]
Hanya sedikit tentang apa yang kita sebut dogmα dalam ajaran agama Buddha. Dengan keluasan pandangan yang jarang pada masa itu, dan tidak jamak pula di zaman kita, dia menolak kritik yang ngotot. Sifat tidak toleran dianggap sebagai musuh agama. Suatu peristiwa beliau masuk dalam balai pertemuan di Ambalatthika dan mendapatkan beberapa muridnya sedang marahmarah kepada seorang Brahman yang telah menuduh Buddha sebagai seorang yang tidak jujur dan menemukan cacat dalam jemaat yang didirikannya. “Saudara-saudara”, kata Buddha, “bila orang lain berbicara menentang saya atau ajaran agama saya, atau melawan jemaat saya, tidak ada alasan kalian untuk marah atau tidak senang kepada mereka. Jika Anda berbuat demikian, tidak saja Anda tidak akan mampu menimbang lagi apakah yang dikatakannya itu benar ataukah tidak tepat”. Beliau melarang kritik yang tidak jujur terhadap kepercayaan lain. Tidak ada satu peristiwa pun di mana Buddha itu terbit amarahnya, tidak ada satu peristiwa pun di mana kata yang tidak lemah lembut meluncur dari lisannya. Beliau memiliki toleransi yang sangat luas terhadap sesama manusia.
Sang Buddha tidak diragukan lagi adalah pembaharu masyarakat yang terbesar di India. Hasil yang paling dapat dicatat adalah penghapusan sistem kasta. Dia mengatakan bahwa seseorang Brahmana tidak karena dilahirkan oleh orang tua Brahmana sebagaimana diajarkan oleh agama Hindu, tidak pula karena dia menjalankan upacara-upacara dan melakukan bentuk-bentuk luar dari kasta Brahmana, tetapi dia adalah seorang Brahmana karena akhlak dan pengabdiannya kepada kebenaran serta kehidupan.
“Seorang bukanlah Brahmana karena rambutnya yang dicukur ataupun keturunan atau kastanya, dalam pribadi yang terdapat Kebenaran dan Hukum dia adalah suci, dia adalah seorang Brahmana”. (Dharmmapada 29:33).
Buddha tidak percaya kepada apa yang disebut juru selamat dan penebusan dosa. Beliau mengajarkan bahwa manusia itu secara pribadi harus bertanggung jawab atas tindak tanduknya sendiri. Kebahagiaan atau kesusahannya, dosa atau kesuciannya adalah sebagai akibat tingkah lakunya sendiri. Tak seorang pun dapat menyelamatkan diri dari dosanya.
“Kejahatan itu hanya dilakukan oleh dirinya sendiri, dengan dirinya sendiri seorang itu ternoda, karena dirinya sendiri sajalah kejahatan itu diperbuat manusia, dengan diri sendiri sajalah seseorang itu disucikan. Kesucian atau pun kekotoran tergantung kepada pribadinya sendiri. Tak seorang pun dapat mensucikan orang lain’. (Dharmmapada 12:165).
Pendeknya kita menuai apa yang kita tanam, baik di dunia ini maupun di alam nanti. Orang baik akan ke sorga dan si jahat ke neraka: “Para pahlawan yang tidak mengenal kekerasan dan selalu mengendalikan dirinya untuk menuju Kediaman Abadi, di mana di tempat itu seseorang bebas dari kedukaan.” (Dharmmapada 17:225).
‘‘Bagaikan satu kota berbenteng yang terletak di tanah perbatasan dan terjaga baik di dalam mau pun di luarnya, hendaklah seseorang itu mengendalikan dirinya sungguh-sungguh dan jangan dia lewatkan sedikit pun tak terjaga, karena bagi mereka yang terlewat sedetik saja akan jatuh ke dalam kesusahan, seolah-olah mereka ditetapkan ke neraka.” (Dharmmapada 22:313).
Buddha menolak terlibat dalam pertentangan metafisik yang meresahkan dan tidak terarah. Banyak ajaran yang sekarang dianggap bagian penting agama Buddha, tidaklah merupakan bagian ajaran yang asli dari Buddha. Nyonya Rhys Dacids, H.J. Jennings dan Ananda Coosmaraswamy sepakat bahwa ajaran reinkarnasi dari agama Hindu,
“penolakkan diri” (Anatta) dan kependetaan itu bukanlah termasuk asli agama Buddha. Tidak diragukan lagi tentang kepercayaan Buddha terhadap keabdian jiwa. Waktu beliau berbicara tentang penghancuran “diri sendiri”, itu berarti penghancuran nafsu rendah. Nafsu rendah inilah yang dinyatakan oleh Buddha sebagai tidak permanen dan tidak nyata. Beliau yakin atas kenyataan dan keabadian dari nafsu yang lebih tinggi.
“Jika seseorang mengetahui bahwa pribadinya itu berharga, dia harus selalu menjaga dan mengawasinya dengan baik-baik.” (Dharmmapada 12:157).
“Melalui diri sendiri seseorang harus mengajar Pribadi, seseorang harus mengendalikan diri dengan Pribadi; jadi menjadi Bhikku itu dijaga oleh Pribadi dan bukan fikiran, inilah yang akan berjalan ke arah kebahagian.” (Dharmmapada 25:379)
Tidak satu pun yang lebih disalahfahami selain sikap Buddha kepada Tuhan. Seringkali dikatakan bahwa Buddha itu tinggal diam bilamana dia ditanya tentang Tuhan, diamnya itu ditafsirkan sebagai penolakkan atas adanya Tuhan. Namun Ny. Rhys Davids dan Sir Francis Younghusband, kedua-duanya menunjukkan bahwa Buddha itu membawakan ajaran Upanishad. Dia tidak asing lagi dengan fikiran-fikiran dan istilah-istilah keagamaan. Ketika Upanishad menggunakan kata-kata “Pribadi” seringkali digunakan dalam pengertian Pribadi Semesta atau Tuhan, prinsip metafisik dari kehadiran – inilah Brahman, Pribadi yang tersembunyi dalam-dalam di segala makhluk.” Sang Buddha jelas-jelas menggunakan kata Pribadi dengan pengertian yang sama ketika beliau berkata: “Aku berlindung kepada Sang Pribadi” (Digya Nikaya 2:120), dan dalam kata-kata berikut:
“Pribadi adalah Tuhan itu sendiri, apakah ada Tuhan yang lebih tinggi dari itu? Bila seseorang menguasai baik-baik diri pribadinya, maka dia akan menemukan Satu Tuhan yang sukar didapat.” (Dharmmapada, 12: 159)
“Pribadi adalah Tuhan diri pribadi, Pribadi adalah tujuan diri pribadi; karena itu kendalikan dirimu bagaikan seorang pedagang yang mengendalikan seekor keturunan yang baik”. (ibid, 25:380)
Buddha seringkali menunjukkan Dharma (Dhamma dalam bahasa Pali), keimanan yang sejati sebagai Brahmacariyam atau jalan menuju Brahman, kehendak Tuhan yang kekal. Dalam suatu peristiwa, beliau menunjukkan bahwa bila seseorang itu mengikuti hidup yang mulia dan suci, “dengan kalbu penuh kasih sayang, luas pandangan, bertumbuh menjadi besar dan selalu terukur”, orang semacam itu mendekati persatuan dengan Brahman dan bahwa “dia sesudah kematiannya dan ketika tubuh jasmaninya bercerai berai akan menjadi satu dengan Brahman yang senantiasa sama” (Tevijja Sutta). Brahman tentulah nama yang diberikan dalam Upanishad untuk Satu Tuhan yang Sejati. Ananda Coomaraswamy menulis:
“Hukum atau Dhamma selalu menjadi suatu nomen Dei, dan dalam agama Buddha itu sinonim dengan Brahman.”[13]
Dan ini pula yang ditulis Sir Francis Younghusband tentang masalah tersebut: “Walaupun demikian, sikapnya tentang menuju ke idea Tuhan seringkali disalahtafsirkan. Karena itu ia berusaha memperhalus dan mempertajam pengertian Tuhan … ia meletakkan seorang ateis dan Buddhis sebagai dentingan halus suatu renungan yang tidak penting. Tetapi hal ini mungkin disebabkan Buddha terlalu besar, tidak terlalu kecil, idea tentang Tuhan diperhalus untuk menekankan pada diri sendiri agar memperoleh ketajaman pengertian tentang kedewataan. Adalah sesuatu yang terlalu besar untuk dinyatakan dalam kata-kata. Siapa, misalnya, yang dapat mendefinisikan cinta? Buddha tidak memperkirakan untuk mendefinisikan Tuhan, tetapi baik beliau dan muridnya telah jenuh dengan konsep Kekuatan dibalik mata yang melihat, dan telingga yang mendengar, dan semua kejadian di alam.”[14]
Jadi tujuan agama Buddha itu seperti semua agama lainnya adalah Nirwana (bahasa Pali, Nibbhana), yang dalam risalah asli dari Sang Buddha berarti kembalinya roh ke haribaan Tuhan.
SEJARAH AGAMΑ BUDDHA
Sungguh disayangkan bahwa kepemimpinan dan tafsir popular agama Buddha itu jatuh ke tangan seorang yang bernama Sariputra. Dia sebagaimana ditunjukkan oleh Edward Conze cenderung sebagai seorang yang skeptis. Dia sungguh-sungguh boleh disebut Santo Paulusnya agama Buddha. Dia mencap risalah-risalah Sang Buddha sebagai bikinannya sendiri dan menafsirkannya sekehendak hatinya. Dia mengabaikan banyak perkara dan melebih-lebihi perkara lain dalam ajaran Buddha. Dengan mengutip kata-kata Edward Conze:
“Tarikan Sariputra ke dalam ajaran agama Buddha tidak saja dalam melatih kependetaan untuk jangka waktu yang panjang, melainkan juga menentukan aspek-aspek mana dari ajaran Buddha yang harus ditekankan dan mana yang harus disingkirkan ke bawah tanah.”[15]
Hikmah lama atau aliran Hinayana dalam agama Buddha memakai penafsiran Sariputra dan juga skeptisismenya. Sudah umum dipercaya bahwa segera setelah wafatnya Buddha, suatu konsili Buddha telah diadakan di Rajagaha untuk menetapkan isi dari isi Tripitaka atau Tiga Keranjang Hukum. Konsili kedua, dikatakan telah dilangsungkan di Vasali sekitar seratus tahun kemudian untuk membereskan perbedaan-perbedaan tertentu yang telah timbul dalam jemaat tersebut. Namun kebanyakan cendekiawan meragukan riwayat dari konsili ini.
Sekitar dua ratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha, timbullah perpecahan yang pertama di antara ummat Buddha. Para pengikut apa yang disebut aliran Hikmah Lama pecah dalam dua sekte, Theravadi dan Sarvastivadin. Kaum Theravadi mendapat dukungan di wilayah Timur India dan sekarang mereka menguasai Ceylon, Burma, dan Thailand. Kitab suci mereka Tripitaka adalah dalam bahasa Pali.[16] Sarvastivadin berkembang di Barat dengan Mathura, Gandhara (Lembah Peshawar) sebagai pusatnya. Sekte ini menjadi padam sekitar 1100, namun kitab sucinya tetap dapat diperoleh dalam bahasa Sanskrit.[17]
Sekitar tahun 240 SM, kita saksikan bangkitnya Mahayana Buddha, sebagai reaksi terhadap Theravada yang direndahkan oleh kaum Mahayana dengan nama Hinayana.
Konsili ketiga dari agama Buddha diadakan di Pataliputra dalam abad ketiga sebelum masehi. Ini adalah konferensi sefihak dari golongan Hinayana dan tujuannya adalah mengutuk gejalagejala ‘murtad’ sekte Mahayana. Dinyatakan bahwa konsili ini diadakan oleh Asoka, salah satu raja mulia yang banyak jasanya kepada agama Buddha.
Peristiwa penting selanjutnya dalam sejarah kaum Buddha adalah masuknya Menander (Milinda), seorang raja keturunan dinasti Bactria asal Yunani. Suatu buku kanonik yang penting dari Buddha Hinayana berjudul Milinda Panha (Pertanyaan–pertanyaan Raja Milinda) ditulis oleh filsuf Buddha terkemuka Nagasena sebagai tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan tertentu yang diajukan oleh Raja Menander. Kitab ini merupakan pembelaan aliran Hinayana yang disusun untuk menenangkan fikiran yang bergejolak saat itu dari elemen-elemen baru yang merusak serta menyusup ke dalam agama Buddha.
Dengan bangkitnya Saka dalam tampuk kekuasaan di India, maka timbul kesenjangan dalam pengetahuan kita tentang sejarah Buddha. Namun dalam abad pertama, Saka ditaklukkan oleh suku bangsa lain yang berasal dari Asia Tengah, Yueh-Chi atau Kushans. Raja terbesar dari dinasti ini, Kaniksha (memerintah 120-162 ) menjadi Buddha, dan sebagaimana halnya dengan Asoka serta Menander, dia memberi dukungan yang kuat kepada agamanya yang baru. Di sekitar waktu inilah agama Buddha mengalami suatu rangkaian perubahan yang membuatnya sangat berbeda dengan ajaran asli Sang Buddha. Agama ini jatuh di bawah bermacammacam pengaruh, seperti Hellenisme, Paganisme dari Asia Tengah dan agama Brahma. Sang Buddha dipertuhankan dan patungnya menjadi obyek sembahyang keagamaan. Beberapa waktu sebelum ini, patung Buddha yang pertama telah dibuat orang sebagai dukungan raja Kaniksha, seorang seniman besar dari aliran Gandhara. Di antara para penulis besar periode ini, dapat disebutkan Asvaghosa pengarang Buddacarita dan Mayayana Sradhopada (Kebangkitan Iman). Masa ini juga memperlihatkan bangkitnya dua Universitas Buddha yang terkenal, yakni Universitas Taxila dan Universitas Nalanda di Magadha (Bihar).
Seorang filsuf besar, Nagarjuna, pendiri aliran Madhyamika dalam agama Buddha dan pengarang Mahaprajna Paramita Shastra tergolong dari Universitas Nalanda. Tamu-tamu terkemuka dari Tiongkok, Hiuen-Tsian dan I-Tsing belajar bertahun-tahun di univeristas ini dan menyatakan kekagumannya melalui tulisan mereka.
Kanishka meniru cara Ashoka dengan memanggil Konsili Buddha berikutnya, yakni keempat. Konsili ini tidak hanya memunculkan Sarvastivadin, tetapi dimaksudkan pula untuk menempatkan keharmonisan dengan tumbuhnya pengajaran dari dua pendidikan utama tersebut.
Agama Buddha selanjutnya tumbuh dan mempunyai peran besar dalam perkembangan intelektual dan moral pada masa kejayaan Gupta. Pahatan dan lukisan terkenal di gua Ajanta dan Ellora terdapat pada abad ini. Dengan kedatangan Huns dan Gujars di India pada abad keenam, biara dan tempat belajar mengalami kerusakan yang menyedihkan. Tetapi agama Buddha tumbuh kembali dan berjaya pada kekuasaan raja Harsha dan abad Palas. Namun setelah itu, agama Buddha mulai menunjukkan kemunduran. Kemunduran agama Buddha berkaitan dengan bangkitnya militan Hindu, suatu awal kejadian dimulai dengan menebang pohon suci di Gaya dan membakar habis biara Buddha oleh gerombolan dari Bengal dan Bihar. Pengajaran agama Hindu oleh filsuf besar Shankara dari Vedanta dan juga pemikiran besar lainnya telah menjatuhkan agama Buddha. Sekitar abad ketujuh, seluruh agama Buddha telah tiada di tanah kelahirannya.
Jauh sebelum kejatuhannya di India, agama Buddha telah berkembang dan mengakar di banyak negara di luar India. Ia telah tersebar di Ceylon pada masa Ashoka. Pada masa itu Ceylon (Sri Lanka), menjadi pusat agama Buddha Theravada. Agama Buddha mencapai Burma pada abad kelima dan Thailand abad kedelapan, dan di kedua negeri ini sampai sekarang tetap setia pada keimanannya. Agama Buddha mencapai China melalui Asia Tengah (sekitar 50 ) dan dari China kemudian tersebar ke Korea (372 ) dan Jepang (552 ). Agama Buddha yang masuk ke China adalah Buddha Mahayana yang telah jenuh dengan ide-ide dan praktik penyembah berhala dan Brahmanisme, dan di China dicampur aduk dengan elemen-elemen ajaran lokal, Taoisme. Dua sekolah baru Buddha Mahayana dikembangkan di China. Pertama adalah Sekolah Tanah Suci (di Jepang disebut Jodo). Ia juga disebut Sekolah Amitabha (di Jepang disebut Amida) dan didirikan sekitar 350 oleh Hui-yuan dengan basis Sukhavati Sutra.Kedua adalah Sekolah Chan (di Jepang disebut Zen) yang dikembangkan di China pada abad keenam sebagai hasil ajaran Bodhidharma (di China disebut Tamo dan di Jepang disebut Daruma), yakni ajaran Buddha India dari Madras. Negara Buddha lainnya yang penting disebut adalah Tibet. Agama Buddha masuk ke Tibet melalui raja Gampo pada pertengahan abad ketujuh. Agama Buddha Tibet seringkali disebut Lamaisme, yakni pencampuran dari agama Buddha Tantric dengan agama setempat Bon. Di abad kesebelas terjadi reformasi agama Buddha Tibet dengan menyingkirkan elemen Bon, dan lahirlah sekte Gelupta, baik Dalai Lama dan Tashi (Panchen) Lama merupakan bagiannya.
SEKTE AGAMA BUDDHA
Agama Buddha dibagi atas dua sekte besar, yakni Hinayana (atau Theravada) dan Mahayana. Perkataan Hinayana (kendaraan kecil) dan Mahayana (kendaraan besar) diucapkan oleh pengikut Mahayana yang menyatakan bahwa “kendaraannya cukup besar untuk mengangkut seluruh pengabdian kemanusiaan”. Jadi sementara Hinayana menganggap Mahayana sebagai koruptor dari ajaran asli Buddha atau tepatnya ajaran palsu dan cabang yang melenceng. Sebaliknya, Mahayana menganggap Hinayana tidak hanya palsu atau melenceng dari ajaran Buddha sebenarnya, tetapi juga sederhana dan tidak lengkap atau mengada-ada ajaran Buddha.
Keyakinan dan praktik agama Buddha dipusatkan dan dipandu oleh ajaran tiga bagian, yakni Tri-ratna (tiga manikam). Mereka itu adalah (1) Buddha, (2) Dharma (bahasa Pali, Dhamma), dan (3) Sangha.
Jika aliran Theravada membicarakan Buddha, maka mereka mengartikan bahwa Siddharta Gautama adalah manusia, dialah yang mencapai pencerahan dan telah menunjukkan jalan ke nirwana. Agak awal dari sejarah agama Buddha, pemujaan Buddha telah tumbuh, dan Buddha dijadikan symbol dan benda yang dipuja secara keagamaan, tetapi Theravada tidak pernah menjadikan Buddha sebagai Tuhan. Bagi mereka Buddha adalah Sattha (Guru), Bhagwa (yang diberkati), Tathagata (yang mengalami dan meningkatkan diri dari ketidak-sempurnaan hidup), dan Buddha (mendapat penerangan sempurna). Pendeknya, ia adalah manusia besar (Mahapurusa) dan tidak lebih dari itu.
Dengan Dharma yang kedua dari “tiga manikam”, kaum Theravada mengartikan dengan ajaran pokok tentang penderitaan, sebab musabab, dan pengobatannya. Kaum Buddhis Theravada percaya bahwa alam semesta pada umumnya dan segala kehidupan pada khususnya tiga ciri bersama (“Tiga tanda makhluk”): tidak menetap (anicca), penderitaan (dukkha), dan ketidakhadiran jiwa yang memisahkan dari raganya ke kehidupan lainnya (anatta). Mereka sependapat dalam menyatakan bahwa tidak ada prinsip permanen atau kesatuan di dalam atau di balik alam semesta. Segalanya mengalir. Tidak ada sesuatu kejadian yang tanpa henti dan perubahan yang tak terputus. Tidak dzat. Kaum Theravadin menyangkal adanya Tuhan, dan juga diri pribadi yang permanen atau jiwa dalam diri manusia. Manusia itu tersusun dalam kualitas yang tidak tetap serta selalu berubah , bersifat maya, dan dilahirkan karena hawa nafsu. Selama manusia mempunyai nafsu mementingkan diri sendiri, maka khayalan ini, selalu berubah kualitasnya, di mana dia diciptakan, akan menetap, dan selama hal itu masih menetap maka manusia akan lahir kembali terus-menerus di dunia kesedihan (samsara). Manusia dapat membebaskan dirinya dari roda kelahiran dan kematian dengan cara menghancurkan hawa nafsu. Nirwana yang merupakan tujuan agama Buddha, berarti “padamnya nafsu, padamnya kebencian, dan padamnya khayalan.” Ini dapat dicapai, bahkan setelah kehidupan sekarang. Orang yang telah melakukan ini disebut Arahant. Jika ia meninggal, maka ia tidak akan dilahirkan kembali.
Moral kehidupan yang dicita-citakan kaum Theravadin adalah menjadi seorang pendeta Buddha, dan itulah pentingnya Sangha, atau tata kependetaan, hal yang ketiga dari tiga manikam. Kehidupan dari seorang tuan rumah, hampir-hampir tidak dapat dibandingkan dengan kehidupan yang lebih tinggi dari kehidupan kerohanian. Hanya seorang pendeta sajalah yang dapat mencapai ketinggian tingkat Arhant dan mencapai Nirwana.
Kaum Buddha Mahayana berbeda dengan aliran Theravadin dalam menyatakan bahwa Menjadi Ada itu khayali dan Dzat itu nyata. Puncak Realitas adalah esa dan tidak berubah. Ini semua diatas konsep akal fikiran manusia. Kalau menginginkan istilah yang lain disebut pula Tathata. Agama Buddha Mahayana adalah bentuk idealisme mutlak. Kaum Mahayana menganggap Buddha sebagai penjelmaan dari Realitas Mutlak Yang Esa, yang dapat juga disebut prinsip Buddha yang abadi atau Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran Buddha tentang keesaan segala makhluk mengandung arti bahwa nasib tiap pribadi dihubungkan dengan nasib dari segalanya. Setiap orang dapat menyucikan diri mereka, karena menghindari kesusahan dan keadaan yang penuh dosa, tetapi penyelamatan diri manusia tidaklah sempurna selama masih ada seseorang yang belum diselamatkan. Dalam kata-kata Masaharu Anesaki, “Menyelamatkan diri sendiri dengan menyelamatkan orang lain adalah ajaran keselamatan semesta yang diajarkan oleh Buddha (Mahayana)”.[18]
Cita-cita kaum Theravada sebagai Arhant digantikan dalam Buddha Mahayana sebagai Boddisattva. Seorang Boddisattva adalah seorang yang telah mencapai keadaan suci dan terbebaskan, yang menolak memasuki Nirwana dan melanjutkan pengorbanan diri sendiri, demi bakti cintanya bagi mereka yang masih tertinggal dibelakang dan menjadi segel untuk menolong mereka. Dia menunda diri masuk ke dalam kebahagiaan yang sempurna, karena rasa kemanunggalan rohani dengan orang lain menyebabkan dia lebih suka menunggu dan dengan kasih sayang melayani mereka hingga semuanya siap untuk masuk ke Nirwana bersama-sama. Dalam kata-kata Anesaki, dia merasa bahwa kesela-matan sendiri akan tidak sempurna dan bahkan tidak mungkin selama ada satu makhluk yang belum terselamatkan.
Nirwana menurut agama Buddha Mahayana adalah keadaan sejati dan kesempurnaan rohani. Ini adalah keadaan di mana kasih sayang kemanunggalan dengan orang lain telah merasuki seluruh fikiran dari pribadi orang itu bagaikan zat yang tak bisa dipisahkan dan dibedakan. Diambil secara paradoks ini berarti bahwa dengan mengemukakan Nirwana bagi diri pribadi, demi cinta terhadap sesamanya, seseorang telah berada di Nirwana sebagaimana kita mpahami sungguh-sungguh. Sebab Nirwana dan Samsara bukan dua realitas yang berbeda. Tidak ada sesuatu diluar Nirwana.
Ada satu lagi sekte agama Buddha yang perlu secara singkat dibicarakan di sini. Ini adalah Zen Buddhisme. Zen memandang aspek-aspek tradisional agama Buddha dengan kebencian. Ia menolak renungan dan kitab suci serta mengabai-kan konvensi. Juga mereka membenci spekulasi metafisik, tidak suka teori-teori, dan cenderung untuk menghapuskan akal fikiran. Pandangan yang langsung lebih dihargai dari pada menganyam benang fikiran yang rumit-rumit. Kebenaran itu tidak dinyatakan dalam istilah yang abstrak dan umum, tetapi sekongkrit mungkin. Mereka percaya bahwa penerangan dan keadaan kemanunggalan dengan Yang Esa tidak dapat dicapai hingga fikiran tentang logika dihancurkan. Mereka mengembangkan teknik meditasi yang aneh (zazen), untuk menghancur-kan kebiasaan berfikir dan berasio norma serta mencapai penerangan yang tiba-tiba (satori).
Daftar Pustaka
----------T Rhys Davids, Buddhist India, Putnam’s New York, 8th edition, 1959
----------Masaharu Anesaki, History of Japanese Religion, Kegan Paul, Trench, Trubner and Co. London: reprinted 1963
----------Edward Conze, Buddhism: Its Essence and Development, Harper Torch Books, New York, 1959
----------The Road to Nirvana- A Selection of the Buddhist Scripture in Pali, diterjemahkan oleh E.J. Thomas, Wisdom of the East Series, London, 1950
----------The Quest of Enlightenment – A Selection of the Buddhist Scripture in Sanskrit, diterjemahkan oleh E.J. Thomas, Wisdom of the East Series, London, 1950
----------Ananda Coomaraswamy dan I.B. Horner, The Living Thoughts of Gautama the Buddha, The Living Thoughts Library, Cassel, and Co., Ltd., London, 1948
----------F.L. Woodward (penterjemah), Some Saying of the Buddha: Introduction by Sir Francis Younghusband, Oxford University Press, 1939
---------University Press); (ii) Narada Thera (Wisom of the East series); (iii) .Max Muller, Sacred Books of the East, iv Juan Mascaro, Penguin Classics
----------Christmas Humphreys, Buddhism Pelican Book, (Harmondsworth, 1959
----------Mukti Ali, Agama-agama Di Dunia, IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988
----------S. Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. 1, George Allen and Unwin, London, 1923
----------Ananda Coomaraswamy dan I,B, Horner, The Living Thoughts of Gautama the Buddha, (The Living Thoughts Libaray, Cassel and Co. London, 1948
[1] Mukti Ali, Agama-agama Di Dunia, (IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), h. 101
[4] Ananda Coomaraswamy dan I,B, Horner, The Living Thoughts of Gautama the Buddha, h.1.2 (The Living Thoughts Libaray, Cassel and Co. London, 1948)
[10] F.L. Woodward (Penterjemah), Some Sayangs of the Buddha, h 7-13 (The World’s Classics, Oxford University Press, London, 1939)
[11] E.A. Burt (Editor), The Teaching of the Compassionate Buddha, h. 43-46 (Mentor Book, New York, 1956)
[12] Dharmmapada (17:223), terjemahan oleh N.K. Bhagwat (The Buddha Society, Bombay). Terjemahan lainnya yang dipetik bab ini dan diambil dari (i) S.Radhakrishnan (Oxford University Press); (ii) Narada Thera (Wisom of the East series); (iii) .Max Muller (Sacred Books of the East), iv Juan Mascaro (Penguin Classics)
[13] Ananda Coomaraswamy dan I.B. Horner, The Living Thoughts of Gautama the Buddha, h. 25 (The Living Thoughts Library, Cassel, and Co., Ltd., London, 1948)
[14] F.L. Woodward (penterjemah), Some Saying of the Buddha: Introduction by Sir Francis Younghusband, h. xv (Oxford University Press, 1939)
[15] Edward Conze, Buddhism: Its Essence and Development, h. 91 (Harper Torch Books, New York, 1959)
[16] The Road to Nirvana- A Selection of the Buddhist Scripture in Pali, diterjemahkan oleh E.J. Thomas (Wisdom of the East Series, London, 1950)
[17] The Quest of Enlightenment – A Selection of the Buddhist Scripture in Sanskrit, diterjemahkan oleh E.J. Thomas (Wisdom of the East Series, London, 1950)
[18] Masaharu Anesaki, History of Japanese Religion, h. 54 (Kegan Paul, Trench, Trubner and Co. London: reprinted 1963)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar